Diskriminasi dan Stereotip Diaspora Indonesia di Asia Tenggara

 Selamat memperingati hari buruh sedunia, terutama kepada pahlawan devisa yang sedang bejuang di luar negeri. Menurut data dari website resmi KPU dengan melihat data dari Kedutaan Besar tiap negara, jumlah diaspora Indonesia di manca negara adalah 4,694,484 orang 1). Sebagian besar hijrah ke luar negeri karena faktor pekerjaan, kawin campuran, ataupun untuk menuntut ilmu (pendidikan).

Perlindungan secara hukum untuk para pekerja di luar negeri diatur oleh hukum secara resmi. Persyaratan seperti visa kerja, kontrak kerja, asuransi menjadi hal yang penting untuk dilengkapi sebelum kebrangkatan meninggalkan tanah air. Pemerintah sendiri telah melengkapi fasilitas berupa pelayan publik resmi yang beralamatkan di kedutaan besar setempat. Dengan adanya perwakilan di cabang luar negeri tersebut, masyarakat Indonesia dengan mudah mendapatkan dukungan resmi untuk pembaharuan dokumen ataupun legalitas lainnya di luar negara. Salah satu contohnya seperti yang pernah saya alami, penerbitan surat pendukung untuk mendapatkan surat izin memandu di Malaysia.  


Apakah bekerja di luar negeri selalu membawa kisah manis?

Kisah perjuangan diaspora di luar negeri bisa dikatakan cukup banyak sentimen di dalamnya. Khususnya untuk pekerjaan di sektor non formal, seperti pembantu rumah tangga dan konstruksi bangunan. Contoh dari kasus yang ada antara lain:

1. Kasus pelecehan yang dialami seorang TKI di Hongkong bernama Siti, ditemukan kamera yang berada di rak kamar mandi berisi 20 video yang direkam dengan sengaja oleh sang majikan 2).

2. Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh dua orang majikan berkewarganegaraan Malaysia. Pelaku selain mendapat penyiksaan, juga terbukti tidak memberikan gaji selama 5 tahun 3).

3. Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh majikan asal negeri Brunei Darussalam kepada asisten rumah tangga yang berasal dari Tulungagung, Jawa Timur. Pelaku merasa tidak terima setelah tawaran untuk menikah ditolak oleh korban 4).


Selain dari pada itu, jika menilik dari peraturan jam kerja dan fleksibilitas untuk mengakses dunia luar seperti kegiatan personal. Banyak sekali diaspora yang mengaku tidak memiliki akses untuk rehat dan bertemu orang lain. Jam kerja yang panjang, transportasi yang sulit serta tidak ketersediaan jaminan untuk menerima tamu dari luar menjadi beberapa alasan mengapa perkumpulan diaspora jarang bisa untuk berjumpa.

Saya sendiri sebagai diaspora yang memiliki pekerjaan di sektor formal, kurang memiliki akses untuk bisa melakukan aktifitas di luar kerja. Dengan adanya keinginan pribadi untuk memiliki hobi, saya mencoba bergabung dengan sanggar yoga. Lokasinya yang dekat dengan tempat tinggal, memudahkan saya untuk pergi dan tidak memerlukan waktu lama di perjalanan. Berinteraksi dengan orang merupakan salah satu contoh upaya agar saya tidak tersolasi dari dunia luar, memberikan saya kesempatan untuk mengetahui dunia sekitar dan orang di luar komunitas saya.

Menjadi anggota di masyarakat akan membuat rasa penasaran dengan latar belakang kita, salah satunya asal dan bangsa. Pada awalnya orang akan merasa jika saya orang yang terhormat sama seperti orang lain dengan profesi sejenis. Tapi setelah saya menyebutkan asal negara biasanya akan ada perbedaan yang signifikan. Tidak jarang saya akan dipanggil “mbak”, “kak”, atau sapaan informal lainnya. Jika hal tersebut dilakukan saat kegiatan di luar kantor, mungkin terdengar biasa tapi akan kurang berkenan di hati jika kita secara profesional menjadi klien dan penyedia jasa.

Sebagian besar dari kita mungkin berfikir jika mencari hunian seperti rumah sewa itu mudah asal kita mampu untuk membayar. Lain halnya ketika status kewarganegaraan kita sudah ditanya oleh agen perumahan, tuan rumah hanya menyewakan kepada orang lokal saja. Perlu adanya penjamin seperti majikan ataupun pasangan sah yang memiliki kependudukan asli untuk meyakinkan pemberi sewa.

Ada banyak hal stigma negatif di luar sana, entah dari mana asalnya. Atau siapa yang memulai cerita sehingga keberlangsungan hidup diaspora di luar negara kadang terasa cukup sulit. Kepercayaan publik terhadap bangsa Indonesia yang rendah, memandang rendah suatu ras karena berasal dari negara yang lebih terbelakang. Ataupun tidak menghargai usaha dan kerja keras sebagai rekan kerja sejawat di kantor.

Semua ulasan saya bersifat pribadi dan tidak bermaksud untuk memojokkan siapapun tanpa dasar. Semoga kedepannya kita bisa menjadi bangsa besar, bermartabat dan lebih dihargai oleh orang luar negara.

 

 Sumber dan sitasi:

1.        https://www.kpu.go.id/dmdocuments/Data_Agregat_WNI.pdf

2.        https://belitung.tribunnews.com/2019/02/18/tki-di-hong-kong-alami-pelecehan-seksual-oleh-majikannya-direkam-saat-mandi

3.        https://news.detik.com/berita/d-5536272/tkw-di-malaysia-diselamatkan-disiksa-majikan-5-tahun-tak-digaji

4.        https://www.detik.com/jatim/hukum-dan-kriminal/d-6071355/kronologi-tkw-asal-tulungagung-disiksa-majikan-usai-tolak-ajakan-nikah


Comments

Popular Posts